Bukan Hanya Film The Hunger Games yang Menggambarkan Kekacauan. Di dunia nyata, terdapat istilah ‘hidden hunger’ alias kelaparan tersembunyi, yang berpotensi mengacaukan negara seperti Indonesia. Pertanyaannya, apakah pangan fortifikasi bisa menjadi solusi?
Direktur Medis dan Ilmu Pengetahuan Danone Indonesia, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, saat kegiatan Jelajah Gizi 2024 di Banyuwangi, menjelaskan bahwa hidden hunger bukan sekadar masalah kesehatan fisik. Namun, juga dapat terlihat dari kualitas hidup, kondisi psikologis, hingga produktivitas seseorang dalam bekerja.
Hidden hunger atau kelaparan tersembunyi adalah masalah kekurangan gizi mikro. Kondisi ini tidak menunjukkan indikasi busung lapar atau gizi buruk, tetapi dapat berdampak serius pada kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah atau negara.
Menurut Dr. Ray, seseorang yang mengalami hidden hunger mungkin tampak sehat dengan tinggi dan berat badan yang ideal. Namun, untuk mengetahui kondisi tersebut, diperlukan pengecekan darah yang komprehensif.
Dokter yang juga merupakan Pendiri dan Peneliti Health Collaborative Center (HCC) ini mengungkapkan bahwa makanan lokal yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sudah mampu mencukupi kebutuhan gizi makro harian, termasuk karbohidrat, protein, dan lemak.
Namun, kebutuhan gizi makro saja tidak cukup. Tubuh juga memerlukan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Gizi mikro, atau mikronutrien, adalah zat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi sangat penting agar metabolisme tubuh dapat berfungsi secara optimal. Contohnya meliputi zat besi, vitamin A, vitamin D, iodin, folat, dan zinc.
“Masyarakat mungkin sudah mendapatkan kalori yang cukup dari karbohidrat dan protein, tetapi sel-sel tubuh juga membutuhkan vitamin dan mineral. Jika tidak ada vitamin dan mineral, metabolisme tidak akan berjalan maksimal,” jelas Dr. Ray.
“Orang yang memiliki berat badan yang cukup tetapi kekurangan zat gizi mikro mengalami hidden hunger,” tambah Dr. Ray.
Pakar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ahmad Sulaeman, yang juga hadir dalam kegiatan tersebut, mengatakan bahwa hidden hunger mungkin terlihat tidak berbahaya tetapi jika dibiarkan dapat merugikan negara seperti Indonesia. Banyaknya masyarakat yang mengalaminya akan menurunkan kualitas SDM dan daya saing dengan negara lain.
“Kondisi hidden hunger ini dapat menyebabkan peningkatan angka sakit, masalah kesehatan mata, gangguan penyerapan zat besi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kecerdasan masyarakat, kesehatan, produktivitas, bahkan kualitas sumber daya manusia,” jelas Prof. Sulaeman.
Apakah Pangan Fortifikasi Menjadi Solusi untuk Hidden Hunger?
Penelitian berjudul Efektivitas Fortifikasi Pangan dalam Meningkatkan Status Gizi Ibu dan Anak Indonesia yang diterbitkan di Jurnal Internasional Penelitian Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat (IJERPH) pada 2021 menunjukkan bahwa persentase anak dengan anemia meningkat dari 10,4 persen pada 2013 menjadi 38,5 persen pada 2018.
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan prevalensi stunting mencapai 21,6 persen. Selain itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat 1 dari 3 anak Indonesia mengalami anemia.
Angka anemia pada ibu hamil juga meningkat dari 37,1 persen di 2013 menjadi 48,9 persen di 2018. Tingginya angka anemia di Indonesia berkaitan dengan rendahnya asupan zat besi atau infeksi yang menyebabkan kehilangan zat besi. Kekurangan zat besi inilah yang menjadi penyebab utama anemia di Indonesia dan juga memicu kekurangan seng yang dapat menyebabkan stunting.
Berdasarkan kondisi tersebut, Indonesia membutuhkan pangan fortifikasi untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar mikronutrien masyarakat. Menurut Prof. Sulaeman, penerapan fortifikasi pangan merupakan cara yang murah dan efektif untuk mencapai hal itu.
“Fortifikasi adalah cara yang paling murah dan paling efektif. Misalnya, garam biasa yang tidak difortifikasi dapat menyebabkan kekurangan yodium, oleh karena itu harus difortifikasi dengan yodium,” papar Prof. Ahmad.
Fortifikasi adalah proses penambahan zat, mineral, dan vitamin ke dalam produk pangan yang sudah jadi. Contohnya adalah garam yodium dan susu fortifikasi yang ditambahkan dengan zat besi, vitamin C, vitamin A, dan sebagainya.
Dr. Ray menjelaskan bahwa zat besi adalah salah satu mikronutrien yang paling mudah untuk difortifikasi, salah satunya melalui susu pertumbuhan. Bentuk susu ini juga mudah diserap oleh tubuh anak, dibandingkan dengan suplemen.
“Idealnya, zat gizi mikro masuk bersamaan dengan makanan. Zat besi paling mudah difortifikasi dalam susu pertumbuhan karena bioavailabilitasnya sangat tinggi. Sehingga, yang diserap tubuh dari susu pertumbuhan lebih banyak daripada yang terbuang,” ungkap Dr. Ray.
Dia juga menekankan bahwa cara kerja mikronutrien cenderung bersinergi. Jadi, jika salah satu zat gizi kurang, maka penyerapannya di dalam tubuh tidak akan maksimal.
“Karena mikronutrien bekerja saling mendukung. Contohnya, zat besi membutuhkan vitamin C, vitamin A, zinc, dan sebagainya. Dalam susu pertumbuhan, penelitian menunjukkan bahwa jika vitamin C ditambahkan ke zat besi, maka bioavailabilitasnya meningkat,” jelas Dr. Ray.
Selain susu pertumbuhan, terdapat pula inovasi dari budidaya padi sehat yang diinisiasi dengan penanaman padi biofortifikasi untuk mengatasi kekurangan zat besi di kalangan masyarakat, khususnya ibu hamil.
Berbeda dengan pangan fortifikasi, di mana mikronutrien ditambahkan setelah bahan pangan jadi, biofortifikasi adalah proses di mana zat, mineral, hingga vitamin diserap selama proses pertumbuhan tanaman.
Contohnya, beras biofortifikasi ditanam dengan bibit yang telah mengandung nutrisi dan mineral seperti zinc dan zat besi.
“Saat ini, biofortifikasi banyak diteliti dan terbukti efektif. Jadinya, bukan beras yang sudah jadi yang difortifikasi, tetapi benih yang sudah diperkaya nutrisi sebelum ditanam,” jelas Dr. Ray.
Wahyudi, perwakilan Pandawara Agri, menjelaskan bahwa padi biofortifikasi memiliki banyak keunggulan untuk kesehatan. Contohnya, padi ini mengandung zinc 3 kali lebih banyak, rendah pestisida, dan lebih efisien dalam penggunaan air.
“Uji coba varian beras biofortifikasi menunjukkan kandungan zinc yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beras biasa. Selain itu, kandungan nutrisinya juga sangat baik,” ungkap Wahyudi.
Mengingat data dari SSGI 2022 menunjukkan prevalensi stunting mencapai 21,6 persen, serta Riskesdas 2018 mencatat 1 dari 3 anak mengalami anemia, perhatian perlu diberikan untuk masalah ini.
Namun, Dr. Ray mengingatkan bahwa tidak semua produk pangan bisa difortifikasi. Fortifikasi hanya dapat dilakukan pada produk yang umum dikonsumsi masyarakat, seperti beras, terigu, dan garam yang ditambahkan yodium, serta minyak goreng dengan vitamin A.
“Fortifikasi harus diterapkan pada makanan yang banyak dikonsumsi orang, agar kebutuhan vitamin dan mineral terpenuhi melalui konsumsi sehari-hari,” tambah Dr. Ray.
Pangan Fortifikasi yang Terjangkau dan Kewajiban Makan Bergizi Seimbang
Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS, Staf Khusus Badan Gizi Nasional, mengingatkan bahwa tantangan pangan fortifikasi, termasuk beras biofortifikasi, adalah harganya yang cenderung sulit dijangkau oleh masyarakat kurang mampu.
“Saya bertanya, apakah harga beras biofortifikasi dapat bersaing dengan beras biasa? Harga padi biasa sekitar Rp 12.000 per kilogram, sedangkan beras premium lebih mahal. Maka, dengan kebutuhan harian, masyarakat membutuhkan pilihan yang terjangkau,” papar Prof. Ikeu.
Dr. Ray menekankan bahwa mengonsumsi beras biofortifikasi tidak menghilangkan kewajiban untuk mendapatkan pola makan bergizi seimbang. Setiap orang tetap perlu mengonsumsi makanan beragam sesuai model Isi Piringku.
Isi Piringku adalah panduan gizi seimbang yang memastikan satu kali makan terdiri dari 50 persen sayur dan buah, sementara 50 persen lainnya adalah makanan pokok dan lauk pauk.
“Yang difortifikasi hanya zat tertentu saja,
kebutuhan gizi tidak bisa hanya mengandalkan fortifikasi. Jika tidak makan yang lain, dari mana protein dan asam lemak esensial? Tetap diperlukan pangan beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi secara komprehensif,” jelas Prof. Sulaeman.
Jelajah Gizi 2024 Telusuri Pangan Lokal Banyuwangi
Jelajah Gizi 2024 berlangsung dari 5 hingga 7 November 2024, menghadirkan serangkaian kegiatan yang mengeksplorasi keunikan pangan lokal, termasuk kandungan nutrisi dari sajian kuliner tradisional di Banyuwangi.
Program ini juga mengajak peserta untuk mengunjungi Pabrik AQUA Banyuwangi, melihat langsung proses produksi, teknologi, serta sistem pengendalian yang meningkatkan efisiensi dan kualitas produk.
Selanjutnya, peserta juga mengunjungi budidaya padi sehat yang diinisiasi Danone Indonesia, serta pelatihan kepada petani untuk menerapkan praktik pertanian yang sehat.
Peserta juga diajak melihat masyarakat binaan yang mengembangkan budidaya sayuran di area perumahan, di mana bahan makanan diolah bersamaan dengan protein hewani sebagai makanan tambahan untuk pencegahan stunting.
(Reporter: Dini Afrianti Efendi)