Disertasi Bahlil Lahadalia menjadi sorotan oleh profesor dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir.
Profesor Sulfikar Amir melalui akun X @sociotalker mengulas disertasi yang ditulis oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut.
Awalnya, Prof Sulfikar menyampaikan bahwa dia baru saja memeriksa disertasi Menteri ESDM. Setelah dilakukan pemeriksaan, dia mengungkapkan bahwa indeks kesamaan (similarity index) hanya sebesar 14%, yang berarti cukup otentik.
“Barusan ngecek disertasi Bahlil. Similarity index 14%, jadi cukup otentik,” tulis Prof Sulfikar Amir.
Setelah melakukan analisis lebih mendalam, Prof Sulfikar Amir menyatakan bahwa disertasi Bahlil lebih tepat disebut sebagai laporan proyek.
“Setelah itu saya baca isinya, sorry to say, ini karya tulis yang lebih pas menjadi laporan proyek,” ungkapnya.
Dosen yang pernah mengajar di ITB tersebut lalu mengemukakan alasan mengapa disertasi Bahlil dianggap kurang layak.
“Kerangka teoretis terasa tempelan, analisis dangkal, gak ada kebaruan yang substansial, mungkin ini standar universitas,” bebernya.
Prof. Sulfikar Amir juga mempertanyakan bagaimana Bahlil dapat menyelesaikan disertasi dalam waktu 20 bulan. Dia juga menyinggung kemungkinan adanya pihak lain yang membantu Bahlil dalam menyelesaikan disertasi tersebut.
“Cakupan kajian disertasi ini emang komprehensif. Tapi itu yang jadi pertanyaan. Gimana dia mampu menyelesaikan disertasi ini dalam 20 bulan dengan keringat sendiri (termasuk menulis sendiri). Mungkin universitas membolehkan ghost writer ya?” sindirnya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia
Bahkan belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy juga ikut menyindir Bahlil yang mendapatkan predikat cumlaude hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, sementara Muhadjir mengaku membutuhkan waktu enam tahun untuk meraih gelar doktor.
Prof Sulfikar Amir menyatakan bahwa siapapun berhak meraih gelar doktor, namun semuanya harus dilakukan dengan cara dan prosedur yang sesuai dengan standar etika akademik.
Dia juga menekankan bahwa lembaga pendidikan berperan dalam menjaga kredibilitasnya agar tidak sembarangan memberikan gelar doktor dengan cara yang tidak pantas.
“Tanggung jawab lembaga pendidikan untuk menjaga marwah universitas dari orang-orang yang mengejar gelar doktor demi prestis semata tetapi hasilnya di bawah standar,” kata Prof Sulfikar Amir.
Kontributor : Rizka Utami