JAKARTA – Dalam upaya mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030, Indonesia perlu melakukan dekarbonisasi pada sektor otomotif, yang merupakan salah satu penyumbang besar terhadap produksi CO2.
Salah satu solusi yang sering dianggap utama adalah kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Namun, berpendapat berbeda, Cyrillus Harinowo dalam bukunya “Multi-pathway for Car Electrification” menekankan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif.
Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa faktor, termasuk kondisi Indonesia yang beragam dibandingkan dengan negara maju, terutama dari segi pendapatan per kapita. Oleh karena itu, pendekatan lain juga harus dipertimbangkan.
Ilustrasi mobil listrik.
Lebih jauh, Cyrillus mengakui bahwa meskipun kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi langsung, pengisian baterai mereka masih bergantung pada sumber energi dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara.
Di Indonesia, sekitar 80 persen energi untuk pengisian baterai berasal dari sumberfosil, sehingga meskipun EV lebih ramah lingkungan, proses pengisiannya tetap menghasilkan emisi karbon.
Oleh karena itu, Cyrillus menyarankan penggunaan teknologi lain seperti kendaraan listrik hibrida (hybrid electric vehicles/HEV) dan kendaraan hibrida plug-in (plug-in hybrid vehicles/PHEV). Kedua jenis kendaraan ini dapat mengurangi emisi tanpa sepenuhnya bergantung pada infrastruktur pengisian baterai yang masih terbatas.
Di samping itu, penggunaan biofuel seperti bioetanol yang telah dikembangkan di negara lain seperti Brasil juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
“Untuk mencapai NDC 2030, Indonesia harus mempertimbangkan berbagai solusi, bukan hanya kendaraan listrik. Mengingat tantangan infrastruktur dan ketergantungan pada energi fosil, solusi seperti kendaraan hibrida dan biofuel perlu diprioritaskan,” ungkapnya dalam keterangannya.
Khususnya, menurut Cyrillus, pasar mobil listrik secara global masih cukup terbatas, tidak hanya di Indonesia tetapi juga secara internasional.
Oleh karena itu, industri mobil di Indonesia sebaiknya melanjutkan bisnis yang ada sembari secara bertahap melakukan transisi dengan mengembangkan industri mobil untuk pasar yang lebih besar.
Data penjualan mobil di Amerika Serikat selama 2023 menunjukkan peningkatan signifikan dalam minat masyarakat terhadap mobil hybrid. Lonjakan ini menunjukkan pergeseran preferensi konsumen ke arah kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
“Dengan demikian, peluang untuk menghadirkan inovasi baru semakin terbuka lebar,” ucapnya.
Cyrillus menyadari bahwa bukunya mungkin terlihat melawan arus, di mana mobil listrik dianggap sebagai satu-satunya solusi untuk masalah emisi karbon. Namun, ia menekankan pentingnya pemahaman bahwa teknologi otomotif yang ramah lingkungan tidak hanya terbatas pada mobil listrik.
“Saya pada awalnya sangat percaya bahwa mobil listrik adalah solusi utama untuk lingkungan. Namun seiring waktu saya menyadari bahwa mobil LCGC juga dapat menjadi ramah lingkungan dibandingkan dengan mobil listrik yang ada. Begitu pula dengan mobil hybrid dan mobil fleksibel,” ujar Cyrillus.
“Ketika berbicara tentang NDC 2030, kita kembali melihat masalah terkait pembangkit energinya, yang tinggal lima hingga enam tahun lagi,” jelasny.
“Dengan demikian, mobil non-listrik yang ramah lingkungan masih menjadi pilihan yang seharusnya lebih diprioritaskan untuk pencapaian NDC 2030, karena mereka dapat menawarkan pengurangan karbon hingga 50 persen, meskipun gagasan ini tampak berlawanan dengan tren umum,” pungkas Cyrillus.