Prevalensi penyakit tiroid di Asia Pasifik tergolong tinggi, dan jika tidak diobati, dapat berdampak negatif terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi. Tercatat, sekitar 11% populasi orang dewasa di Asia Pasifik menderita hipotiroidisme, sementara prevalensi global berkisar antara 2-4%.
Penyakit tiroid mencakup berbagai kondisi yang disebabkan oleh gangguan fungsi tiroid, termasuk hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipotiroidisme kongenital, dan kanker tiroid yang cukup jarang. Penyakit tiroid yang tidak diobati dapat memengaruhi kualitas hidup individu. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya deteksi dan skrining dini. Lalu, siapa saja yang disarankan untuk menjalani skrining penyakit tiroid?
Menurut dokumen White Paper yang berjudul “Closing the gap: Prioritizing thyroid disease in Asia Pacific”, deteksi dini sangat dibutuhkan bagi populasi berisiko tinggi, seperti ibu hamil, bayi baru lahir, dan orang dewasa dengan kondisi genetik tertentu. Penyakit tiroid yang tidak terdiagnosis dapat berdampak signifikan pada fisik, mental, fungsi sosial, serta kualitas hidup penderitanya. Selain itu, kondisi ini berpotensi membebani anggaran nasional dan sistem kesehatan dengan biaya yang terus meningkat.
Skrining pada populasi berisiko tinggi sangat penting untuk mengidentifikasi dan menangani disfungsi tiroid subklinis sebelum muncul komplikasi hipertiroidisme dan hipotiroidisme.
Kebijakan skrining untuk bayi baru lahir di Indonesia telah diterapkan sejak 2014 dan baru terintegrasi dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2023 untuk meningkatkan cakupan skrining. Hingga akhir tahun 2023, sebanyak 1,2 juta bayi baru lahir telah menjalani Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK), dan angkanya diprediksi mencapai 1,3 juta bayi hingga Juli 2024.
Bayi baru lahir yang terdeteksi positif menderita hipotiroidisme kongenital akan mendapatkan terapi dan pengobatan yang tepat sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang secara normal.
Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp. A, Subsp. End., FAAP FRCPI (Hon.), yang juga merupakan Direktur Eksekutif International Pediatric Association (IPA), mengungkapkan bahwa hipotiroidisme kongenital dapat menyebabkan gangguan perkembangan mental dan fisik yang serius jika tidak terdeteksi sejak dini. Karenanya, program skrining bagi bayi baru lahir sangat krusial untuk penanganan yang efektif.
Dr. dr. Tjokorda Gde Dalem Pamayun, Sp.PD, KEMD, Ketua Umum Indonesian Thyroid Association (InaTA), menegaskan sekali lagi pentingnya kesadaran akan kebutuhan deteksi dini dan pengobatan penyakit tiroid di Indonesia.
“Sebagai perhimpunan para ahli di bidang tiroid, kami terus berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, rumah sakit, dan organisasi medis, untuk meningkatkan kesehatan tiroid di masyarakat. InaTA mendukung peningkatan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk membentuk kebijakan yang memfasilitasi skrining universal bagi populasi berisiko tinggi, terutama ibu hamil,” ujarnya.
Selain skrining bayi baru lahir, deteksi dini bagi orang dewasa yang berisiko tinggi, khususnya ibu hamil, juga sangat penting. Dari sisi ekonomi, skrining pada orang dewasa dan ibu hamil, yang sering disebut sebagai skrining universal, terbukti lebih hemat biaya dibandingkan tidak melakukan skrining sama sekali.
Sebuah studi pemodelan ekonomi kesehatan mengenai efektivitas biaya skrining universal untuk hipotiroidisme pada ibu hamil di Indonesia menunjukkan bahwa skrining universal lebih hemat biaya dibandingkan skrining berdasarkan risiko atau tidak melakukan skrining sama sekali. Penelitian ini mengindikasikan penghematan biaya sebesar 1,4 triliun Rupiah dibandingkan skema tanpa skrining dan 801 miliar Rupiah dibandingkan skrining berdasarkan risiko.
Program skrining kesehatan untuk tiroid ini adalah salah satu tugas dari Presiden kepada Kementerian Kesehatan. Menurut Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD., Ph.D., hingga September 2024, sekitar 1,7 juta bayi baru lahir telah menjalani skrining hipotiroid kongenital. Skrining ini penting untuk menghindari risiko gangguan tumbuh kembang dan penurunan kecerdasan di kalangan bayi.
Alexandre de Muralt, Wakil Presiden Senior Merck Healthcare APAC, mengatakan bahwa pihaknya mendukung White Paper Tiroid oleh Economist Impact, yang menyajikan gambaran menyeluruh tentang tantangan utama dan kesenjangan dalam kebijakan untuk menangani penyakit tiroid di Asia Pasifik.
White Paper berjudul “Closing the gap: Prioritizing thyroid disease in Asia-Pacific” disusun untuk meningkatkan kesadaran tentang penyakit tiroid, khususnya hipotiroidisme, serta dampaknya terhadap kesehatan, kualitas hidup, dan ekonomi masyarakat di Indonesia serta kawasan Asia Pasifik. Dengan menyajikan data dan hasil riset yang komprehensif, dokumen ini bertujuan memberikan basis ilmiah bagi pembuat kebijakan dalam memahami pentingnya deteksi dini dan skrining terhadap penyakit tiroid, terutama untuk kelompok berisiko tinggi seperti ibu hamil dan bayi baru lahir.
Skrining universal diharapkan dapat mencegah dampak jangka panjang dari penyakit tiroid yang tidak terdiagnosis, sehingga dapat mengurangi beban kesehatan dan ekonomi pada individu dan masyarakat.