Pakar kesehatan memperingatkan bahaya Bisphenol A (BPA) terhadap kesehatan. Berdasarkan penelitian internasional, paparan BPA dapat membahayakan kesehatan dalam jangka panjang.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Ulul Albab, SpOG, mengingatkan agar bahaya BPA tidak dianggap remeh sebagai isu persaingan usaha. Hal ini bisa berdampak fatal.
“Kita tidak bisa membelokkan (bahaya BPA) bahwa ini adalah persaingan usaha atau tidak,” ungkapnya dalam acara talkshow di Jakarta, Rabu (30/10/2024).
“Kekhawatiran kami, terutama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), adalah bagaimana melindungi masyarakat Indonesia menjadi prioritas,” jelasnya.
dr. Ulul menegaskan agar pihak tertentu tidak mengaitkan bahaya BPA dengan isu persaingan usaha. Ia mengingatkan pada pandemi Covid-19 yang memburuk karena banyak isu liar yang beredar.
“Dulu saat Covid dan banyak yang meninggal, isu Covid-19 dibelokkan menjadi isu yang berbeda-beda,” kata dr. Ulul.
Menurutnya, pemahaman baru yang dianggap mengganggu kestabilan sering kali akan berhadapan dengan upaya-upaya pembelokan isu.
Dokter Ulul melanjutkan, IDI adalah lembaga profesional. Begitu pula BPOM yang memberikan regulasi pelabelan peringatan bahaya BPA pada galon kemasan polikarbonat. Peringatan dari IDI dan BPOM perlu didukung dengan positif, tuturnya.
“Ketika kita mengatakan BPA bermasalah, memang itulah faktanya. Semua negara, bukan hanya Indonesia, menyampaikan hal itu,” ungkapnya.
“Posisi IDI sebagai lembaga profesi untuk dokter adalah menyampaikan hal yang sebenarnya. Apakah diterima atau tidak adalah urusan kedua. Yang penting kita harus berani menyampaikan masalah yang dialami masyarakat dan harus kita suarakan,” tambahnya.
Dalam kesempatan ini, ia mengungkap bahwa IDI sudah lama membahas ancaman bahaya kesehatan dari BPA, termasuk mendukung regulasi pelabelan peringatan yang dikeluarkan oleh BPOM RI.
“Pada 11 Agustus 2022, saya mengeluarkan pernyataan bahwa kami mendukung pelabelan BPA pada semua kemasan makanan. Kita sering khawatir pada apa yang kita makan, tetapi kita jarang khawatir tentang bagaimana makanan itu dibungkus, dikemas, atau diwadahi,” jelasnya.
IDI peduli akan kesehatan masyarakat dan berniat memberikan edukasi seputar BPA sesuai fakta ilmiah. Salah satunya berhubungan dengan pengaruh BPA terhadap kesuburan pria dan wanita.
“Karena sifatnya sebagai hormon disruptor, maka BPA dapat mempengaruhi segalanya, baik pria maupun wanita. Bahkan pria dan wanita bisa infertile (mandul atau tidak punya keturunan),” lanjut dr. Ulul.
Bahaya BPA sebenarnya sudah diatur secara ketat oleh BPOM. Ini terlihat dari berbagai regulasi BPOM untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kemasan yang dilabeli peringatan kandungan BPA.
Meskipun belum melarang BPA, kebijakan terbaru BPOM adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
“Pro dan kontra pasti ada. Ini adalah hal yang wajar. Kewajiban kita adalah memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Jika ada bahaya, katakan ada bahaya tanpa harus ditutupi,” tegasnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh pakar polimer Universitas Indonesia, Prof. Dr. Mochamad Chalid, SSi, MSc.Eng. Ia menyampaikan bahwa proses distribusi mempengaruhi pencemaran senyawa BPA.
Contohnya bagaimana kemasan polikarbonat diperlakukan, yang bisa memicu pencemaran senyawa BPA dari kemasan ke dalam produk air minum.
“Ibaratnya, polimer seperti untaian kalung. Satu mata rantai dari kalung tersebut adalah BPA. Saat digunakan, bisa jadi ada yang copot, yang menimbulkan masalah,” jelas Prof. Chalid.
Prof. Chalid mengingatkan, ada banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya leaching atau peluruhan BPA dari kemasan polikarbonat ke dalam air minum.
Faktor-faktor ini termasuk paparan cahaya matahari selama proses distribusi, suhu tinggi, serta pencucian yang tidak tepat dan penggunaan ulang kemasan.
Pemeriksaan BPOM pada fasilitas produksi air minum berkemasan polikarbonat pada periode 2021-2022 menunjukkan bahwa kadar BPA yang bermigrasi pada air minum melebihi standar BPOM sebesar 0,6 ppm.
Kadar BPA meningkat pesat hingga 4,58 persen. Hasil pengujian migrasi BPA menunjukkan kadar antara 0,05-0,6 ppm meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.